Wish for 2017: Life Jacket, Please!

Inilah Indonesiaku, dimana banyak orang begitu bahagia, begitu santai, begitu optimis menatap hidup sehingga seringkali meremehkan sesuatu yang disebut standar keselamatan. Kejadian terbakarnya kapal Zahro Express yang menewaskan puluhan orang di tahun baru 2017 sungguh membuat miris. Dalam hati saya ingin menumpahkan kekesalan saya pada pengelola kapal yang sering terlalu cuek pada keselamatan penumpang. Oh tapi jangan lupa, bahkan penumpang pun jarang yang peduli dengan keselamatan mereka sendiri. Seberapa banyak penumpang terutama yang tidak bisa berenang yang mempertanyakan keberadaan life jacket?

Membaca kabar tentang kebakaran kapal menuju Pulau Tidung itu, saya langsung teringat dengan dua perjalanan saya ke Kepulauan Seribu. Yang pertama ketika saya ngetrip ke Pulau Tidung dengan cara ‘ngeteng’ alias jalan-jalan tanpa tur di tahun 2015, dan yang kedua ketika saya ikut open trip ke Pulau Harapan bersama perusahaan tur L****A pertengahan Desember 2016 lalu.

Pengalaman pertama saya menuju pulau Tidung menggunakan kapal kayu. Dengan riang gembira saya menaiki kapal bertarif 10 ribu rupiah itu. Saya termasuk penumpang yang ‘dititipkan’ oleh seseorang yang saya tanya di pelabuhan Muara Angke ke ruang kemudi nahkoda. Hmm… beruntung sekali, saya pikir saat itu. Tapi kemudian melihat banyak penumpang berdesak-desakan masuk ke kapal, saya mencium aroma tidak beres. Terlalu banyak penumpang! Rupanya di ruang itulah pengalaman mengajarkan saya.

Dalam ruang kemudi nahkoda itulah saya melihat dengan jelas kemiringan kapal ketika berada di tengah laut. Garis laut yang mestinya lurus mendatar di depan mata, malah miring semiring-miringnya melawan kuatnya ombak. Walaupun dari naik kapal saya sudah repot mencari dan mendekap sebuah life jacket, jantung saya tetap berdegup kencang. ABK berteriak-teriak mengatur anak-anak muda yang terlalu banyak di atas atap kapal. Saya yakin tidak ada dari mereka yang memakai life jacket, dan tidak semua dari mereka bisa berenang dengan baik. Namun mereka terlalu bahagia, terlalu santai, dan optimis menatap hidup. Mungkin saya yang terlalu parno karena tidak bisa berenang.

Tapi ketegangan tidak hanya milik saya di ruang kemudi itu, saya melihat wajah seorang bapak tua yang tegang hingga berdoa kepada penguasa laut.. ‘Kong… udah Kong… ijin lewat Kong…’ entah kepada Engkong siapa dia berdoa. Sang nahkoda pun tidak bisa menutupi kecemasannya, dia menghidupkan rokok yang ditawarkan oleh bapak tua tadi, bahkan meminta saya mengambilkan air minum dibelakang saya. Saya sempat memohon kepada nahkoda untuk menepikan saja kapal di pulau yang dilewati, tapi tampaknya itu bukan pilihan bagi sang nahkoda. Saya sudah hampir nangis dan dalam hati menyesal telah memutuskan untuk melakukan trip itu. Saya rasa itu 1-2 jam paling panik dalam hidup saya, namun akhirnya Alhamdulillah selamat, dengan wajah-wajah panik dan kelelahan keluar dari kapal. Beberapa orang bahkan tak sanggup keluar karena muntah berat selama perjalanan yang mengerikan itu.

Itu perginya. Pulangnya saya tidak berani naik kapal kayu lagi, saya menumpang kapal yang lebih mahal, sekitar 80 ribu. Sepertinya, kalau tidak salah ingat, kapal Zahro Express atau semacamnya itulah yang saya naiki. Situasi lebih nyaman, ada kursinya, gak seperti di kapal kayu. Pintunya kecil untuk masuk ke ruangan itu. Tidak ada life jacket dibagikan disana. Tapi sebelum masuk saya sudah menghubungi kru kapal untuk meminta life jacket.

Perjalanan kedua baru-baru ini ke pulau Harapan beberapa hari setelah gempa di Pidie Jaya, Aceh. Karena ingin perjalanan yang lebih aman dan nyaman, saya mengikuti sebuah open trip tapi memilih moda transportasi menggunakan speed boat dari Marina Ancol. Ketika memesan via whatsapp tanggal 8 Desember untuk trip tanggal 10 Desember, saya sudah begitu ‘rempong’ menanyakan tentang life jacket. Saya ingin memastikan keberadaan life jacket di speed boat itu karena saya tidak bisa berenang.

Saya : Mau mastiin aja, di speedboat nanti ada life jacket kan ya?
L****A : Iyaa biasanya ada kok kak ☺ (hmm, biasanya? Berarti gak pasti dong?)
Saya : Jangan biasanya mbak, tolong dipastikan ya.. Soalnya saya nggak bisa renang 😀
L****A : pada umumnya ada kok kak 😀 :,) (pada umumnya??? Berarti gak semuanya dong??!)
Saya : Iya.. Harus ada mba/mas… Tolong dimasukkan dalam request khusus penumpang yang gak bisa renang ya ☺ (masih berusaha ramah padahal udah gedeg banget)
L****A : Iyaa kak. Itu pastinya.. (entah apa yang pastinya).

20 menit kemudian saya memberikan bukti transfer pelunasan pembayaran.
L****A: Well noted ya kak. Kita kirim invoice lunasnya via email ya
Saya : Ok. Tolong di note harus ada life jacket ya, kalau gak ada batal n refund ya.. (saya mengancam supaya ada kepastian)
L****A : untuk keamanan udah ada pelampung di speedboat ataupun kapal angke kak. Itu sudah disiapkan. (kalau memang sudah disiapkan kenapa dari tadi jawabannya ngambang?)

Merasa tidak yakin dengan jawaban pihak tur, saya nekad beli life jacket sendiri. Saya mendapatkan sebuah pelampung standar dengan ukuran kecil pas di badan saya dengan harga hanya sekitar 100 ribu. Saya minta kirim via gojek biar cepat sampai. Ibu penjaga warung saya sampai mengira saya hendak pergi ke Aceh gara-gara ada paket sebuah life jacket (Yaelah Bu, Aceh kemarin itu kena gempa, bukan tsunami :p)

Akhirnya saya ngetrip dengan membawa pelampung sendiri. Ketika masuk ke speedboat, wah ternyata memang sudah dibagikan di kursi masing-masing. Saya salut juga, namun saya tetap memakai pelampung yang saya bawa karena ukurannya lebih pas di badan. Speedboat melaju kencang dengan lancar, dalam waktu 45 menit kami sudah sampai di Pulau Harapan.

Perjalanan berikutnya cukup asik, kami snorkeling dan lain-lain hingga keesokan harinya terjadi lagi hal yang menyebalkan. Hari kedua, kami dijadwalkan jelajah pulau. Saya mengira kapal yang dipersiapkan oleh tur akan tetap menyediakan life jacket, sehingga saya meninggalkan life jacket saya di penginapan. Ketika sampai di kapal saya kaget karena tidak ada satu life jacketpun disana. Saya menanyakan, dan jawaban tour guide lokalnya santai. Nggak ada mbak, semalam udah dikemasi karena hari ini kita nggak ada jadwal snorkeling. Duh kesal banget rasanya menghadapi orang-orang dengan mindset seperti ini. Jelas-jelas fungsi utama life jacket itu buat SAFETY, bukan buat SNORKELING!

life jacket

Tapi karena pagi itu cerah, saya bismillah aja. Perjalanan ke pulau Bira memang nyaman, hingga sekitar setengah jam kami disana kemudian hujan mulai turun. Ketika mau pulang kembali ke pulau Harapan dibawah hujan yang cukup deras dan angina cukup kencang, saya mulai mempertanyakan life jacket lagi ke tour guide yang utama. Dia yang mengetahui saya tidak bisa berenang dan concern tentang ini kemudian menanyakan ke tour guide lokal, dan jawaban yang sama diterimanya. Tidak ada satu pun life jacket disitu. (Luar biasa, professional sekali, ini yang namanya untuk keamanan sudah disiapkan).

Sorenya, saya kembali menuju Jakarta dengan menggunakan speedboat kecil berukuran sama dengan yang saya naiki pada saat pergi. Bedanya, disini tidak ada life jacket yang dibagikan di kursi penumpang. Dan tidak ada yang mengumumkan posisi life jacket ada dimana. Saya pegang life jacket saya saja, sudah malas untuk tanya-tanya lagi. Lagian orang-orang ini juga nggak ada yang peduli, dari kemarin dalam tur sepertinya cuma saya yang sibuk nyariin life jacket.

Inilah Indonesiaku, ketika orang terlalu bahagia (lebih banyak tertawa, kurang berpikir), terlalu santai (cuek saja, sudah biasa), terlalu optimis menatap hidup (ntar kalau ada apa-apa, semua pasti tahu cara menyelamatkan diri).

Ketika suatu musibah terjadi seperti yang menimpa kapal Zahro Express, tak heran kalau kemudian puluhan orang harus menjadi korban. Tidak ada panduan keselamatan seperti apa yang harus dilakukan ketika terjadi peringatan bahaya, harus keluar lewat mana, dimana life jacket berada… Semuanya yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

Mungkin benar bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi risiko tidak hilang begitu saja ketika kita tidak memikirkannya. Risiko itu tetap ada, dan kita harus berupaya mengantisipasinya. Melalui tulisan ini, saya meminta kepada pengelola kapal (jurusan dan rute apapun), pengelola tour, bisakah sedikit saja lebih memikirkan aspek keselamatan penumpang? Tidak sulit kan untuk meletakkan life jacket pada kursi-kursi penumpang, atau setidaknya ditempat yang mudah terjangkau oleh penumpang? Tidak terlalu mahal kan untuk berinvestasi agar jumlah pelampung sama dengan dengan jumlah penumpang?

Dan kepada sesama penumpang atau pejalan, luangkan waktu 5 menit untuk menemukan dan memakai life jacket sebelum berangkat, bukan ketika kapal sudah dalam bahaya. Jauhkan diri dari pikiran malu atau malas memakai life jacket dalam perjalanan. Ingat, life jacket itu untuk dipakai for our safety, bukan untuk ditumpuk dalam tempat penyimpanan, atau untuk dipakai ketika snorkeling saja seperti kata tour guide saya.

Semoga tulisan ini bisa mengingatkan tentang pentingnya penjelasan dan perlengkapan keselamatan dalam perjalanan. Kita berdoa agar musibah seperti ini tidak terjadi lagi di masa mendatang. Amiiin ya rabbal ‘alamiin..

2 thoughts on “Wish for 2017: Life Jacket, Please!

Leave a comment